Rabu, 26 Desember 2007

"Government By Amateurs"

"Government By Amateurs"
Kompas Selasa, 31 Desember 2002
Oleh Sudarsono

SALAH satu kritik atas proses amandemen sampai dengan yang keempat adalah tidak dimintakannya pendapat rakyat (referendum) oleh MPR terlebih dahulu. Tentang hal ini ada dua pendapat yang bertolak belakang. Ada yang berpendapat bahwa dengan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, rakyat telah memberi kuasa penuh kepada MPR, dan kuasa ini tidak dapat ditarik lagi. Dengan begitu, MPR dapat berbuat apa saja asal dalam kerangka UUD 1945.

Yang berpandangan seperti ini dapat digolongkan sebagai pihak yang percaya, dan meredusir ajaran kedaulatan yang dianut dalam UUD 1945, semata-mata sebagai kedaulatan negara. Negara adalah milik MPR, bukan milik rakyat lagi.

Sebaliknya, yang berargumen pentingnya referendum sebelum amandemen, bertumpu pada keyakinan bahwa UUD 1945 masih menganut ajaran kedaulatan terpadu. Banyak pakar tata negara berpendapat bahwa UUD 1945 menganut ajaran kedaulatan rakyat, kedaulatan negara, kedaulatan Tuhan, dan kedaulatan hukum secara terpadu. Negara adalah milik rakyat, bukan milik MPR.

Pandangan seperti ini juga diperkukuh oleh adanya TAP MPR No IV/MPR/1983 tentang Referendum dan UU No 5/1985 tentang Referendum.

Memang, dengan dicabutnya TAP MPR No IV/MPR/1983 oleh TAP MPR No VII/MPR/1998 adalah pertanda kemenangan pihak penganut ajaran kedaulatan negara. Kemenangan ini, untuk sementara, digenapi dengan proses amandemen sampai keempat, yang dilakukan tanpa bertanya terlebih dahulu kepada rakyat.

Cita UUD ("Grondwetsidee")

Para pengkritik amandemen menganggap bahwa yang percaya akan kedaulatan sempit (kedaulatan negara saja) ini tidak mampu membedakan antara konstitusi dengan UUD. Pertama, mungkin ini pengaruh atas literatur yang membahas constitution dan ketatanegaraan Amerika.

Ajaran kedaulatan Amerika sangat didominasi oleh faham individualisme John Locke. Hal yang sangat berbeda dengan cita negara (staatsbildung) bangsa Indonesia, sebagaimana dirumuskan oleh para Bapak Pendiri Republik. Dapat dimengerti bila para American boys ini gagal memahami cita negaranya sendiri.

Kedua, dan ini yang merisaukan, adalah bahwa para pemenang tersebut, oleh para pengkritiknya dianggap tidak memahami hakikat cita UUD (grondwetsidee). Menurut pakar tata negara Belanda, Van der Tang, yang terpenting dalam masalah konstitusi adalah cita UUD (grondwetsidee), yaitu keinginan untuk meletakkan dalam suatu UUD soal-soal pokok dari organisasi penguasa (overheid) serta mengenai hubungan penguasa dengan warga negara.

Para pengritik amandemen berpendapat bahwa grondwetsidee UUD 1945 telah cukup jelas tergambar, baik pada Pembukaan, Batang Tubuh, maupun Penjelasan. Hanya yang terpokok saja yang dimuat dalam UUD 1945.

Menurut Tambunan (2000), hal-hal pokok ini meliputi: (1) jiwa UUD, yaitu bahwa negara dan konstitusi dibangun berlandaskan Pembukaan; (2) sendi-sendi atau asas-asas kehidupan negara dan bangsa. Kesemua ini menjelma dalam sistematika UUD 1945, cita hukum, ajaran kedaulatan, sistem kekuasaan, pengorganisasian negara, sistem desentralisasi, cita budaya, sistem perekonomian bangsa, sistem pertahanan, dan sistem perlindungan hukum.

Tidak dipahaminya ajaran cita UUD ini menyebabkan banyak di antara kita yang menyamakan konstitusi dengan UUD. Padahal, UUD 1945, dipandang telah dengan jelas membedakan UUD dengan konstitusi.

Menurut Tambunan (2000), misalnya, Penjelasan UUD 1945 menegaskan, konstitusi diartikan sebagai aturan-aturan pokok mengenai penyelenggaraan negara, sebagai garis-garis besar daripada haluan negara. Konstitusi ini ditetapkan oleh UUD 1945, dan oleh MPR, selain itu juga lahir dalam praktik penyelenggaraan negara.

Kecelakaan sejarah

Tidak dibedakannya UUD dengan konstitusi, selain mungkin disebabkan oleh pengaruh pemikiran Amerika, dan tidak dipahaminya ajaran cita UUD, juga disebabkan oleh kecelakaan sejarah, yakni dengan lahirnya TAP MPRS No XX/MPRS/1966, TAP MPR No V/MPR/1973, dan TAP MPR No IX/MPR/1978. Ketiga TAP MPR ini menekankan bahwa UUD 1945 dan TAP MPR adalah sama-sama sebagai peraturan perundang-undangan.

Para pengkritik amandemen, seperti diwaliki oleh Tambunan (2000), mengingatkan bahwa UUD 1945 jelas menggolongkan UUD 1945 dan TAP MPR sebagai haluan negara. Keduanya adalah konstitusi. Supaya dapat bermakna operasional, keduanya harus dikonkretkan lebih lanjut dalam bentuk undang-undang dan peraturan pelaksanaan lainnya.

Sangat disayangkan bahwa MPR, menurut pengkritik ini, telah melupakan bahwa UUD 1945 dan TAP MPR pada hakikatnya berbeda dengan peraturan perundang-undangan.

Demikian pula TAP MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangan, TAP reformis ini pun dipandang gagal untuk membedakan pengertian konstitusi dengan UUD.

Kecelakaan sejarah ini berimplikasi sangat serius atas ketatanegaraan RI. Pertama, tidak dipahaminya hakikat grondwetsidee, dan pencampuradukan makna konstitusi dengan UUD menjadikan tidak diketahuinya mana yang merupakan materi UUD-yang dengan sendirinya harus masuk dalam UUD-dengan materi mana yang merupakan materi konstitusi. Akibatnya, amandemen yang tidak didahului oleh kajian yang serius, mendalam, dan hati-hati, berisiko membawa kita ke arah jalan amandemen tanpa ujung.

Kedua, adalah pudarnya pamor UUD. Banyak yang khawatir bahwa dengan amandemen yang serampangan, dan tanpa mandat dari rakyat, akan memudarkan pamor UUD 1945. Padahal, inilah wujud, dan satu-satunya kekayaan utama negara-bangsa Indonesia.

Ketiga, adalah kerisauan akan adanya benturan antara amandemen dengan hakikat suprakonstitusionalis (supraconstitutionaliteit). Yang terakhir ini menunjuk pada ketentuan mengenai hal-hal dalam UUD yang sama sekali tidak boleh diubah. UUD berbagai negara, Norwegia, Perancis, Portugal, Italia, dan lain-lain secara eksplisit merumuskan supraconstitutionalitet ini. Misalnya, Pasal 89 Ayat (4) dan Ayat (5) serta Pasal 7 Ayat (1) UUD Perancis tahun 1958, jelas sekali mengatur ajaran ini.

Sayang sekali, sampai dengan amandemen keempat, masih tidak ada ketegasan MPR berkenaan dengan supraconstitutionaliteit. Yang paling jelas barulah apa yang diintroduksi pada Pasal 37 Ayat (5): "Khusus tentang bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan."

Para pencinta kemurnian UUD 1945 tentu menyambut baik supraconstitutionaliteit ini. Tapi, dengan amandemen Bab XVI tentang Perubahan Undang-Undang Dasar, khusus Pasal 37 Ayat (1) sampai dengan Ayat (4), dapat dimengerti bila masih banyak yang khawatir bahwa ke depan semua pasal UUD 1945 yang lain, bahkan Pembukaannya pun, masih berpotensi terancam diamandemen, tanpa melalui mandat dari rakyat terlebih dahulu.

Para pengkritik amandemen UUD 1945 berargumen bahwa sesuai Penjelasan UUD 1945, pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan menguasai hukum dasar tertulis maupun hukum yang tak tertulis. Hal ini berarti, Pembukaan tak boleh diubah. Bahkan, seperti diindikasikan oleh Penjelasan UUD 1945, harus dijaga supaya sistem UUD 1945 jangan sampai ketinggalan zaman, dan tidak lekas usang, maka biarlah UUD 1945 tetap utuh sebagaimana adanya. Yang penting bagaimana menafsirkan "yang terpokok saja", dan mengoperasionalkannya ke dalam bentuk konstitusi maupun ke dalam bentuk undang-undang dan peraturan pelaksanaan.

Toleransi amandemen diberikan hanyalah bila MPR menemukan ketentuan dalam UUD 1945 yang kurang jelas. Ini pun harus dilakukan melalui pendalaman dan penelitian yang saksama, dan yang penting meminta pendapat rakyat terlebih dahulu. Dapatlah dipahami bila ada kritik tajam terhadap hasil amandemen, seperti dikemukakan oleh Tambunan (2002) dalam bukunya bertajuk UUD 1945 Sudah Diganti Menjadi UUD 2002 Tanpa Mandat Khusus Rakyat.

"Government by Amateurs"

Kemelut tentang amandemen ini pada gilirannya menyentuh fenomena government by amateurs seperti diungkap oleh Sidney Low. Fenomena ini menunjuk pada kesenjangan antara perkembangan yang dahsyat di lapangan politik dan kemasyarakatan dengan kapasitas lembaga pembuat UUD. Manifestasi dari fenomena government by amateurs ini adalah diperkuatnya kekuasaan eksekutif (verserking van de executive), serta perundangan dari arah terbalik atau langkah surut pembentuk undang-undang (wetgeving in omgekeerde richting).

Inilah inti ajaran delegasi wewenang, dalam kerangka hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Singkatnya, supaya peranan negara dapat maksimal, dalam zaman modern ini, parlemen sengaja menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah.

Konsekuensinya, produk legislatif tidak lagi hanya dibuat oleh badan perundangan (parlemen) saja, tetapi justru banyak yang diserahkan kepada badan administrasi atau pemerintah. Pilihan seperti ini dapat dimengerti, bahkan sebagai keharusan, mengingat pada jajaran pemerintahlah berkumpul para ahli yang bergerak sesuai dengan lapangan pelayanannya; sementara perkembangan dahsyat di masyarakat sudah tidak mungkin diikuti semuanya oleh parlemen. Itulah sebabnya, mengapa timbul fenomena minister s power di Inggris, dan penegasan eksistensi administrative law di banyak negara.

Para pembuat undang-undang (UU) Indonesia pun tidak dapat menghindar dari fenomena government by amateurs ini. Saat ini, semua negara-bangsa menghadapi pergeseran kompleksitas kemasyarakatan, dari detail complexity ke arah dynamic complexity, seperti diingatkan oleh Peter Senge dalam bukunya, Fifth Discipline (1992).

Yang penting adalah, bagaimana kita secara cerdas menata persoalan kenegaraan secara maksimal demi perwujudan cita-cita kemerdekaan. Untuk dimensi yang statis ditata melalui hukum tata negara, dan untuk dimensi yang dinamis ditata melalui hukum administrasi negara.

Sayang sekali, di tengah kecenderungan adanya delegasi wewenang yang semakin nyata di banyak negara, termasuk yang dulu sentralismenya kuat-melalui privatisasi, koorporatisasi, kemitraan, dan reinventing government-pembuat UU Republik Indonesia justru menarik kembali delegasi kewenangan ini.

Dipangkasnya Keputusan Menteri dari hierarki Sumber Hukum dan Tata Usaha Perundangan melalui TAP MPR No III/MPR/1998 serta ditariknya kewenangan penandatanganan UU oleh DPR seperti diatur pada Pasal 20 Ayat (5), dalam konteks ini dapat dikatakan bersifat ahistoris. Apakah ini dilatarbelakangi oleh ajaran tata negara tertentu atau akibat adanya government by amateurs yang betul-betul amatiran, tidaklah jelas benar.

Fenomena yang terakhir ini bukannya tak ada. Masih segar dalam ingatan kita betapa kerasnya tuntutan untuk pilihan Presiden secara langsung oleh sementara pembuat undang- undang. Hasilnya adalah amandemen Bab III UUD 1945 perihal Kekuasaan Pemerintahan Negara. Tapi anehnya, begitu hal serupa dituntut untuk pilihan langsung (proporsional terbuka) bagi anggota DPR, ternyata banyak yang menolak.

Yang menolak pilihan langsung Presiden, sekaligus menolak proporsional terbuka untuk pilihan anggota DPR, adalah konsisten. Namun, yang mendesak pilihan Presiden langsung, tapi menolak proporsional terbuka, adalah amatiran betulan. Bila golongan yang terakhir ini banyak, ini baru namanya tragedi.

selanjutnya....!

Kamis, 20 Desember 2007

AMANDEMEN KONSTITUSI SANGAT MENDESAK

AMANDEMEN KONSTITUSI SANGAT MENDESAK
Jakarta, 24 September 1999.
Sudarsono
Banyak cara untuk beragumen, mengapa amandemen konstitusi sangat mendesak. Pertama argumen politik mengindikasikan bahwa konstelasi riil politik memang menuntut dibukanya wacana amandemen konstitusi. Kedua, argumen ketatanegaran, dan mungkin kesejarahan juga dapat menjadi titik tolak pentingnya amandemen. Tetapi dalam makalah ini, yang digunakan landasan berfikir adalah argumen ketiga, yakni pandangan ekonomi politik Clark (1991) dalam bukunya "Political Economy": A Comparative Approach mensarikan beberapa pandangan political economy, yang barangkali bermanfaat sebagai alat bantu analisis tentang amandemen konstitusi.
Pertama, pandangan liberalisme klasik (classic liberalism), dengan tokoh-tokoh seperti Thomas Hobbes, John Locke, Adam Smith, Thomas Maltus, Frederick Hayek, dan lain-lain. Liberalisme klasik ini menekankan bahwa:

1. Manusia dipandang berperangai self-interested, dan dapat bertindak otonom dengan menggunakan kapasitasnya sendiri untuk menemukan cara-cara yang paling efisien dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginannya;
2. Masyarakat dipandang sebagai agregasi dan individu-individu. Masyarakat tidak punya tujuannya sendiri. Menurut pandangan ini, masyarakat yang baik adalah masyarakat yang membolehkan individu-individu secara bebas mewujudkan keinginan individunya;
3. Pemerintah merupakan entitas bentukan individu-individu dengan maksud untuk melindungi hak-hak individu tersebut sebagaimana ditetapkan dalam konstitusi. Di atas fungsi ini, pemerintah yang paling baik adalah pemerintah yang memerintah paling sedikit.

Kedua, pandangan radikalisme, dengan para pemikirnya seperti Karl Marx, Edward, Thorstein Veblein, V.I. Lenin, dan Jurgen Habermas, yang menekankan bahwa:
1. Manusia memiliki tingkat kebutuhan biologis tertentu, dan memiliki kapasitas untuk menentukan pilihan, tapi kesadaran dan perangainya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, tradisi, nilai-nilai dan cara-cara berinteraksi. Secara ini manusia tidak dapat sepenuhnya mengembangkanbakat dan kapasitasnya tanpa mempertimbangkan keterkaitannya dengan orang-orang lain;
2. Masyarakat dipandang lebih dari sekedar kumpulan individu-individu. Masyarakat adalah layaknya organisme hidup, ke dalam mana individu-individu bergabung sejak lahir. Karena masyarakat sudah terlebih dahulu ada sebelum individu lahir. Karena masyarakat sudah terlebih dahulu ada sebelum lahir, maka ada kalanya ada identitas atau kepentingan tertentu dari masyarakat yang mungkin bersifat konfliktual dengan keinginan individual tertentu. Masyarakat yang baik adlaah masyarakat yang memiliki institusi-institusi yang memungkinkan berkembangnya individu dan hubungan sosial yang saling menghargai;
3. Pemerintah memiliki tugas yang tepat yakni menjadi perwakilan kepentingan kolektif warga negara. Dengan pemerintah memungkinkan warga negara melaksanakan secara kolektif kepentingan yang memang tidak dapat dilakukan bila ditempuh secara individual.

Ketiga, pandangan konservatisme, dengan tokoh-tokoh pemikir seperti Edmund Burke, Vilfredo Pareto, Joseph Schumpeter, dan lain-lain, yang menekankan hal-hal sebagai berikut:
1. Manusia didorong oleh niat yang kuat yang dapat diarahkan kearah tindakan baik dan buruk. Kapasitas manusia untuk memper-timbangkan sesuatu memiliki keterbatasan, dimana ada beberapa orang yang memiliki rasionalitas yang lebih tinggi dari yang lain. Pencampuran antara instink dan keinginan individual menjadi kepribadian yang unik merupakan fungsi dari peranan dan hubungan orang tersebut dengan orang lain;
2. Masyarakat dipandang sebagai struktur organik yang disusun berdasarkan orde hirarchies alamiah. Kualitas masyarakat merupakan penentu utama dari kepentingan dan perangai individual masyarakat. Masyarakat yang baik, dapat mempertahankan hirarrchy yang stabil dari hubungan-hubungan sosial yang dapat memungkinkan individu-individu menemukan peranan dan identitas uniknya sendiri. Tanpa hirarchy, semua orang menjadi homogen, dan karena itu pembentukan kepribadian individual menjadi terhambat;
3. Pemerintah berperan mempertahankan orde alamiah dari masyarakat. Pada masa stabilitas sosial, pemerintah dapat menjunjung tinggi tradisi dan menjaga keberadaan institusi masyarakat dengan cara menyediakan simbol persatuan bangsa dan Mengembangkan iklim moral yang kondusif bagi perkembangan warga masyarakat. Pemerintah tidak hanya harus menerapkan hukum yang melindungi hak-hak kepemilikan, tapi juga secara aktif mendewasakan institusi-institusi sehingga keluarga komunitas dapat berkembang dalam suatu konteks sosial.

Sementara itu liberalisme modern melanjutkan pandangan-pandangan liberalisme klasik dengan penyesuaian, sebagai berikut:

1. Manusia dipandang mampu mewujudkan pilihan rasionalnya, tapi cita-citanya sangat dipengaruhi oleh linkup sosial. Supaya dapat berkembang secara optimal, tiap individu memerlukan hubungan sosial berdasarkan saling menghormati, dan kebutuhan semacam ini dapat menjadi landasan moral yang membatasi perilaku individualis kecuali dalam keadaan hilangnya hak-hak yang justru menyebabkan perangai patologis;
2. Masyarakat dipandang sebagai agregasi individual, tapi sebagai tambahan dari cita-cita individual, setiap individu memiliki terhadap kualitas keberadaan kolektifnya yang hanya dapat dipenuhi oleh pemerintah;
3. Pemerintah dipandang berperan secara netral dalam melindungi hak-hak, dan bertindak sebagai alat dalam mana warga negara dapat secara kolektif mewujudkan keinginannya yang tidak dapat dipenuhi sendiri-sendiri. Tetapi keinginan ini haruslah bersifat memajukan interes publik, dan pemerintah tidak boleh pilih kasih hanya terhadap konsepsi tertentu tentang masyarakat yang baik.

Dalam era modern ini pandangan liberalisme diwakili sangat nyata oleh kelompok "public choice thoery". Para penggagas teori pilihan publik ini berpendapat bahwa pemerintah yang baik haruslah rampin-Athony Down, Gordon Tulloch, dan peraih hadiah Nobel Ekonomi 1986 James Buchanan percaya betul :"that government is best which governs least".

Pandangan liberalistik ini dikemas berdasarkan asumsi bahwa perilaku individu di arena politik sama saja dengan perilakunya di arena ekonomi : self interested and maximizing behavior. Manifestasi perangai seperti ini beraneka ragam, tergantung sudut kepentingan tiap individu.

Bila individu itu birokrat, perilakunya adalah empire builders. Birokrat dipandang gemar membesarkan instansinya. Misalnya dengan membuat unit baru, menambah kotak-kotak jabatan, menambah staf, menambah program, dan utamanya maksimasi anggaran. Dengan ini ia punya kesempatan mengamankan karir, punya dan lebih, pengakuan, dan tentu kekuasaan.

Semakin besar skala birokrasi, semakin besar pula dukungan pegawai dan simpatisan dari luar. Ini pula berarti semakin kokoh kekuasaannya, sehingga ia mampu menepis setiap usaha mengurangi jatah anggarannya. Perilaku birokrat seperti ini dipandang jadi penyebab membengkaknya besaran pemerintah.

Bila individu itu politisi, perilakunya adalah political entrepreneur. Politisi dipandang sebagai pedagang politik, layaknya usahawan yang menjajakan komoditas guna menarik untuk sebanyak-banyaknya, berupa uang dan kekuasaan. Yang ditawarkan adalah komoditas politik, yakni janji kebijakan publik.

Dorongan utama perilaku tidak lain adalah terpilih kembali. Itu sebabnya politisi tidak lain adalah terpilih kembali. Itu sebabnya politisi dipandang cenderung lebih mendukung kebijakan yang dapat memaksimumkan perolehan suara, bukan semata-mata karena pilihan ideologi. Maka tidak mengherankan bila politisi-supaya terpilih kembali- cenderung membuka peluang kebijakan pengeluaran pemerintah yang berlebih. Di Amerika, hal ini ditengarai jadi penyebab defisit anggaran Federal yang terus membengkak. Singkat kata, sama dengan birokrat, perilaku politis semacam ini juga jadi sebab membesarnya skala pemerintah.

Bila individu itu tergabung dalam kelompok kepentingan (interest group), perilakunya adalah rent-seeking. Kelompok ataupun individu akan berupaya memanfaatkan kewenangan pemerintah, sehingga pemerintah membuat kebijakan yang menguntungkan pemburu rente tersebut. Tentu untuk mendapatkan previleger, misalnya hak monopoli, kuota, atau preferensi tarif kelompok dan individu itu harus mengeluarkan biaya. Sementara bla sudah mendapatka previlege, ada transfer sumber daya, dari masyarakat kepada pemburu rente tersebut. Secara keseluruhan,transfer sumber daya ini umumnya bersifat negative-sum game. Artinya, dengan transfer ini, ada kehilangna yang sia-sia dari sistem ekonomi politik.

Dengan suburnya perburuan rente ini, pemerintah dihadapkan pada tuntutan masyarakat yang semakin meningkat. Padahal, banyak tuntutan itu yang sebenarny dapat diselesaikan melalui mekanisme pasar. Sementara itu dengan tumbuhnya persepsi bahwa mekanisme politik lebih menjanjikan dari pada mekanisme ekonomi, menjadi sektor produktif swastan terbengkalai. Singkatnya, perilaku interest group seperti ini juga dipandang sebagai sebab membengkaknya peran pemerintah.

Bila individu itu para pemilih, perilakunya adalah pengabaian (ignorant) terhadap Pemilu. Para pemilih dipandang enggan pergi ke bilik suara karena faktor biaya, waktu, dan yang lebih penting lagi anggapan bahwa satu suara seseorang tidak punya arti dalam pengambilan keputusan politik. Keengganan semacam ini menjadikan keraguan para penggagas teori pilihan publik atas kecanggihan proses demokrasi.

Berdasarkan konstruksi teoritik di atas, beberapa butir ditekankan oleh para penggagas teori pilihan publik:

1. Pemerintah dipandang lebih cenderung sebagai mekanisme dalam mana interest group saling berlomba untuk memuaskan tujuan-tujuan individualnya;
2. Sebagai derivasi dari perangai ketiga elemen kunci dalam proses politik, pemerintah akan cenderung tumbuh dan membengkak baik skala maupun kekuasaanya; dan sekalipun diperoleh melalui proses yang demokratis, hal ini akan berpotensi menghancurkan kebebasan individu itu sendiri;
3. Karena itu untuk meluruskan peran pemerintah diperlukan pembatasan melalui konstitusi baik tentang besaran maupun kekuasaannya. Dengan kata lain, amandemen konstitusi mutlak diperlukan supaya ada kesempatan untuk melakukan redifinisi secara eksplisit pembatasan skala dan kekuasaan pemerintah.

Prinsip Umum Pembatasan Kekuasaan Eksekutif.
Sesuai dengan pandangan teori pilihan publik, maka pembatasan kekuasaan eksekutif haruslah menjadi acuan utama dari amandemen konstitusi. Pembatasan ini dapat dilakukan melalui:

(1) Memperkuat kekuasaan individu dan atau masyarakat;
(2) Membatasi kekuasaan eksekutif, dan
(3) Memperkuat kekuasaan lembaga-lembaga legislatif dan yudikatif relatif terhadap
kekuasaan eksekutif; tetapi pada saat yang sama kekuasan yudikatif dan legislatif
inipun harus dibatasi.

Prinsip Perkuatan Kekuasaan Individu dan Atau Masyarakat:

1. Semua hak dasar (basic right) harus diatru di dalam konstitusi. Hak ini misalnya meliputi perlindungan martabat manusia, kebebasan individu, kesamaan di dalam hukum, kebebasan berserikat, kebebasan menyatakan pendapat, dan lain-lain.
2. Pemilihan langsung ataupun tidak langsung diberikan kepada pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif.
3. Seandainya struktru MPR masih terdiri utusan golongan dan utusan daerah, maka anggota-anggota utusan daerah harus dipilih oleh rakyat atau wakil-wakil rakyat di daerah (DPRDP); dan demikian pula utusan golongan harus ditentukan melalui pemilihan langsung;
4. Tidak ada lagi utusan yang tidak dipilih melalui pemilihan langsung atau tidak langsung;
5. Memberikan kekuasaan kepala negera kepada Ketua MPR misalnya.


Prinsip Perkuatan dan Pembatasan Kekuasaan Yudikatif:
1. Pemilihan Ketua dan Anggota Mahkamah Agung dilakukan berdasarkan pemilihan langsung atau tidak langsung oleh DPR dan atau melibatkan DPRD;
2. Memberikan kekuasaan Mahkamah Agung sebagai Mahkamah konstitusi yang berhak menguji setiap produk perundang-undangan kecuali konstitusi;
3. Penetapan Ketua Mahkamah Agung yang bebas dari kekuasaan eksekutif (misalnya ditetapkan oleh Ketua MPR).

Prinsip Perkuatan dan Pembatasan Kekuasaan Legislatif:
1. Pemilihan langsung anggota DPR dan DPRD berdasarkan sistem gabungan distrik (Kabupaten) dan proporsional nasional;
2. Melibatkan langsung DPR dalam menetapkan Menteri dan Duta;
3. Melibatkan langsung DPR dalam menetapkan kebijakan pemerintah beserta pengawasannya;
4. Memberikan kewenangan DPR untuk sewaktu-waktu dan berkala memanggil Presiden dalam penetapan, pelaksanaan dan pengawasan kebijakan pemerintah;
5. Membentuk komite parlemen yang anggotanya terdiri dari anggota DPR dan wakil masyarakat (dipilih langsung atau tidak langsung oelh DPRD) untuk mengawasi TNI;
6. Membentuk komte parlemen yang anggotanya terdiri dari anggota DPR dan wakil masyarakat untuk mengawasi birokrasi.

Prinsip Pembatasan dan Kekuasaan Eksekutif:

1. Memisahkan kekuasan kepala negara dari Presiden sebagai kepala pemerintahan;
2. Membatasi masa jabatan Presiden;
3. Mengatur tata cara pemilihan Presiden, baik secara langsung maupun tidak langsung (MPR);
4. Mengatur tata cara penetapan Menteri dengan melibatkan DPR atau bila perlu menetapkan bahwa sejumlah Menteri haruslah anggota DPR terpilih


selanjutnya....!