Rabu, 16 Januari 2008

Nabi, Laut, Api, dan Jeruji Besi

Nabi, Laut, Api, dan Jeruji Besi
Emha Ainun Nadjib

Tiap hari berulangkali setiap muslim berdoa kepada Tuhan-nya, memohon perlindungan agar tidak sesat.
Kata akhir surat Al-Fatihah adalah wala ad-dhoolliin: "Anugerahilah kami jalan mustaqim (jalannya orang yang menegakkan kebenaran), bukan jalan orang-orang yang Kau murkai, juga bukan jalan orang-orang yang sesat...."

Kalimat itu disiapkan Tuhan seakan-akan untuk menegaskan bahwa kehidupan manusia sepanjang masa selalu berada pada dinamika relativitas antara tersesat dan tidak tersesat. Kalau begitu engkau baca syahadat dan menjalankan syariat mahdloh (syahadat, salat, puasa, zakat, haji) engkau terjamin tak sesat -tentulah tak perlu Allah mem-fait a compli dengan kalimat doa akhir Al-Fatihah itu.

Antara benar dengan sesat itu seakan sangat mungkin berlangsung bergantian dalam kehidupan manusia. Tak hanya seperti pergiliran siang dan malam, panas dan dingin, penghujan dan kemarau, gelap dan terang: mungkin lebih cepat dari itu.

Pada suatu siang selepas Jumatan belum kering air wudu di wajah kita, bisa saja di beranda masjid kita menemui klien dan bertanya: "Beraninya berapa persen? Kalau di bawah 30% bisa sulit kita mendapatkan tanda tangan beliau."
Kemudian lewatlah yang disebut "beliau" itu, dengan sajadah di pundaknya, sesudah beliau pakai untuk berkotbah dan menjadi imam salat Jumat.

Kesesatan itu milik kita sehari-hari. Kesesatan adalah perangai umum dan sudah saling tahu satu sama lain. Hanya saja, di antara sesama orang sesat dilarang saling mengganggu.

Ada kesesatan kesehatan, dan itu menghasilkan berbagai sakit massal dan penambahan jenis penyakit. Ada kesesatan moral yang mendarah daging, bahkan sudah hampir menjadi jiwa dan karakter kita bersama. Korupsi, misalnya, yang kita tidak rela kalau hanya sesama manusia yang melakukan korupsi --sistem dan aturan pun harus kita bikin terlibat dan "menanggung" dosa korupsi.

Indonesia, negara besar, tanah suburnya kaya raya. Rakyatnya tangguh, penuh bakat, dan penyabar, semakin terperosok ke jurang kehancuran sesudah sekian kali ganti pemerintahan. Demi Allah, itu adalah kesesatan agung yang sangat nyata.

Ada juga misalnya, kesesatan ilmu dan wacana, merajalela di setiap kepala manusia. Tetapi sampai kiamat tak akan ada satu pihak pun yang rela beriktikad mencari titik temu. Tak ada mediasi atau tawassuth, atau tawazzun, penyeimbangan sosial di antara berbagai-bagai produk kemerdekaan berpikir.

Masing-masing orang atau golongan yakin sedang menegakkan dan mempertahankan kebenaran. Dan yang dimaksud kebenaran itu adalah apa yang berlaku di kepalanya sendiri. Di dalam tradisi peradaban ilmu, sangat sukar menemukan orang mencari kebenaran. Umumnya mereka sudah sampai di titik final dengan kebenaran dan keyakinan subjektifnya atas kebenaran diri itu.

Sesungguhnya tradisi itu tak menerbitkan tingkat masalah serius, andaikan tidak ada "penyambung lidah ilmu" di bidang-bidang formal: negara, pemerintahan, policy. Kemudian otoritas, otoritarianisme, bedil, penangkapan, dan pemberangusan. Finalnya ilmu itu bunyinya "pokoknya".

Yang pendekar-pendekar yang bersenjatakan "pokoknya" itu sekarang bukan hanya penguasa, juga sudah menjadi kepintaran rakyat banyak. Akhirnya, yang terjadi adalah siapa menembakkan peluru fatwa dan siapa yang terkena olehnya. Alhasil, sebenarnya Al-Qiyadah dulu semestinya melangkahkan kaki ke kekuasaan negara dulu, baru terapkan teologinya.

*****

Sesudah MUI berfatwa bahwa Al-Qiyadah adalah aliran sesat, dengan penuh penasaran saya menanti-nanti Al-Qiyadah juga segera mengumumkan bahwa MUI dan semua umat Islam yang bukan Al-Qiyadah adalah juga aliran sesat. Bahkan gelombang sesat, gelombang besar sedunia, bukan sekadar satu aliran kecil di beberapa lokal.

Karena sebelum muncul wacana bahwa Al-Qiyadah adalah aliran sesat, sebenarnya pasti sudah ada terlebih dahulu wacana bahwa semua umat Islam di Indonesia, dan bahkan di seluruh dunia, adalah juga sesat. Pasti demikian menurut Al-Qiyadah.

Pastilah pada alam tafsir Syekh Mushaddeq beserta para pengikutnya terdapat keyakinan bahwa semua yang bukan Al-Qiyadah adalah sesat. Itulah sebabnya mereka menghimpun diri dalam kebenaran yang tidak sesat, menurut versi mereka. Mereka tidak mau terus tersesat, maka mereka menjadi Ummatul Qiyadah.

Hanya saja Al-Qiyadah itu "swasta". Sementara MUI itu "negara". Aslinya "negara" adalah rumah institusi rakyat, milik rakyat. Tetapi pemerintah sendiri tidak pernah mampu membedakan bahwa pemerintah bukanlah "negara". MUI memperoleh legalitas dan legitimasi konstitusional "kenegaraan" untuk berfatwa.

Dan fatwa MUI itu tidak sekadar berkekuatan moral sebagaimana Al-Mufti di Mesir, juga berkekuatan hukum dan diperkuat oleh otoritas politik. NKRI adalah sebuah konvensi tentang segala perikehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Segala interpretasi, versi, penafsiran, dan aplikasi yang menyangkut sisi apa pun berada di genggaman tangan penguasa, meskipun sudah lama memakai kostum demokrasi, pemilihan umum, dan perwakilan rakyat.

Indonesia adalah Pemerintah Indonesia: "negara" tidak berposisi jelas dalam pemetaan pikiran konstitusi dan logika kenegaraan kita. Kalau "negara" tidak jelas, terlebih lagi "rakyat". Sesungguhnya yang selama ini dimaksud "negara" adalah pemerintah. Indonesia adalah suatu wilayah di muka bumi yang "belum tentu negara", yang pemerintahnya lemah, dan rakyatnya "abstain", alias de jure de facto tidak benar-benar ada.

Kalau rakyat mau sedikit ada, bergabunglah sejenak menjadi "penggembira" pelaku pemerintah, misalnya lima tahun sekali dalam pemilu nasional atau pilkada. Rakyat jangan "mengada" di luar arus kepentingan dan wacana mainstream pemerintah. Kecuali engkau kuat atau licin atau invisible. Kalau tidak, engkau harus ditiadakan.

Demikian pula Al-Qiyadah. Sebenarnya, kalau MUI dan pemerintah tidak malas, banyak sekali "Al-Qiyadah-Al-Qiyadah" lain yang bertebaran di mana-mana. Artinya "negara" alias pemerintah bisa melakukan penangkapan massal, pemusnahan, dan peniadaan.

Ada "Al-Qiyadah" yang lugu sebagaimana Al-Qiyadah. Ada yang pintar: tidak bermain di wilayah teologi. Tetapi, ia mengapitalisasikan kekosongan kepala manusia Indonesia dengan formula-formula modern dan bahasa canggih. Serta menghindarkan kata-kata Arab yang menyangkut akidah.

Ayat dan hadits terbatas dipakai sebagai sobekan-sobekan kostum di wilayah spiritual, psikologi, dan psikisme, krisis logika, dan hati kosong. Juga sirnanya parameter-parameter nilai, perasaan cemas tak berkesudahan, rasa bersalah oleh korupsi. Serta hampir menyeluruhnya bangsa ini kehilangan pegangan hidup.

Asalkan engkau tidak bermain di wilayah teologi, maka bukan hanya lancar kapitalismemu. Malahan bisa merdeka menggunakan semua perangkat industri dan modal. Bahkan dipuji orang. Kalau lebih halus dan canggih lagi, malah bisa memperoleh Award Nasional atau kalau perlu Hadiah Nobel.

Di Nusantara ini manusia tidak benar-benar mampu membedakan Tuhan dengan setan, malaikat dengan Dajjal, kebaikan dengan jebakan, kebenaran dengan tipu daya. Agama dengan seakan-akan agama, ilmu dengan klenik, Kiai atau penipu, ustad atau saudagar, perjuangan dengan kebencian, fakta lapangan dengan nafsu kepahlawanan. Bahkan tidak maksimal kesanggupannya memilih sehat-tidaknya makanan, lagu, sinetron, kalimat, dan kata.... Asal ada kata "Allah" disangka agama.

*****

Andaikan munculnya Al-Qiyadah ini kita daya gunakan sebagai momentum pembelajaran. Misalnya, MUI menyiapkan forum untuk berdialog dan berdebat dengan Al-Qiyadah. Mungkin tertutup tak apa, kalau kita masih hobi sama mitos "meresahkan masyarakat". Tapi kalau akidah dan ilmu kita jelas, sebaiknya rakyat atau ummat juga kita ajak memperjelas akidah dan ilmunya: maka kenapa tak terbuka saja untuk umum perdebatan itu.

Saya yakin, itu bisa disiarkan secara nasional. Bisa menjadi sekian tayangan televisi yang laris, bukan tidak menarik untuk disponsori oleh ini itu --agar bukan Mbah Maridjan saja yang rosa, umat juga rosa akidah dan ilmunya.

Lebih dahsyat dan indah lagi, kalau sejak awal pimpinan Al-Qiyadah yang datang ke MUI mengusulkan ada forum. Dia pasti paham setiap kata ada risiko sosial, bahkan akibat politiknya. Mending terlebih dulu dibawa berdebat saja ke kantor MUI. Apa keberatan beliau untuk melakukan itu, karena toh beliau yakin bahwa beliau nabi. Mosok nabi kalah sama MUI.

Sesungguhnya, menjadi muslim, atau menjadi manusia, itu tinggal pilih satu di antara tiga jalan. Pertama, ijtihad, subjeknya bernama mujtahid: berinisiatif sendiri untuk memahami sesuatu, memikirkan, merenenungkan, menganalisis, dan mengambil keputusan. Kedua, ittiba', pelakunya bernama muttabi': mengikuti saja apa kata ulama, pemimpin, atau panutan, namun tetap dengan berusaha memahami apa yang ia ikuti.

Atau ketiga, taqlid, orangnya disebut muqallid: pokoknya ikut saja, mau kapan Idul Fitri-nya monggo saja, tak penting mengerti atau tidak, toh nanti yang urusan sama Tuhan kan yang dianut, bukan yang menganut.

Tapi salah seorang ulama MUI menyatakan: "Tidak perlu berdebat dengan orang sesat." Dan yang terjadi adalah semua pihak mendengar penggalan-penggalan dan serpihan-serpihan belaka. Jangankan barang baru yang bernama Al-Qiyadah, lha wong barang lama yang namanya Islam saja juga kita ngerti-nya sepenggal-sepenggal. Sehingga sangat mudah diperdaya, bahasa Jawa-nya: methel, seperti gethuk, ditiup saja bisa ambyar.

Begitulah ilmu kita, pengetahuan kita, wacana kita. Mungkin juga begitulah iman dan taqwa kita. Tapi sudahlah. Harus saya penggal di sini. Apakah engkau cemas atas Indonesia? Silakan.

Tapi, jangan cemas tentang Al-Qiyadah. Beliau yakin dirinya adalah nabi: siapa yang mampu menghalangi langkahnya? Nabi Ibrahim tak terbakar oleh api. Nabi Musa dibekali tongkat oleh Tuhan untuk membelah samudra. Kalau sekadar jeruji besi, apalah artinya bagi mukjizat seorang Nabi.


Emha Ainun Nadjib
Budayawan
[Kolom, Gatra Nomor 52 Beredar Kamis, 8 November 2007]