Rabu, 09 Januari 2008

Presiden sebagai Pemimpin Pembelajaran

Presiden sebagai Pemimpin Pembelajaran
Kompas Sabtu, 08 November 2003

Oleh Sudarsono

DALAM kampanye kepresidenan Korea Selatan, capres Kim Dae- jung mengatakan, "Beri saya kesempatan jadi Presiden Korea Selatan, dan krisis ekonomi akan saya pulihkan dalam waktu dua tahun." Presiden Kim memang menepati janji politiknya. Bahkan, seluruh indikator ekonomi makro Korea Selatan dapat disehatkan dalam 18 bulan sejak pelantikannya menjadi presiden.

Fenomena Presiden Kim ini menarik minat peneliti perilaku kepemimpinan dari Chung Ahn University, Prof Kim Dong-hwan. Melalui kajian atas hampir 1.000 halaman pidato kepresidenan disimpulkan bahwa Presiden Kim adalah salah seorang model pemimpin pembelajaran (a learning leader). Ciri pemimpin pembelajaran antara lain: berpikir serba sistematis, memahami kompleksitas dinamis masyarakat, dan suka dialog.

Gambaran pemimpin pembelajaran ini ditunjukkan oleh kecerdasan Presiden Kim dalam memahami krisis ekonomi Korea Selatan. Presiden Kim berpendapat bahwa krisis ekonomi Korea Selatan ditandai struktur sistematik yang bersifat penstabilan (balancing). Krisis ekonomi Korea Selatan adalah mirip sistem tubuh manusia. Tidak sehatnya satu atau beberapa bagian dari sistem, ditandai oleh tidak sehatnya satu atau beberapa indikator kesehatan sistem. Satu-satunya cara untuk menyehatkan sistem adalah dengan cara menyehatkan seluruh komponen sistem, terutama yang memiliki daya ungkit tertinggi (highest leverage).

Itulah sebabnya Presiden Kim memilih kebijakan reformasi institusi politik dan institusi finansial guna memulihkan krisis ekonomi Korea Selatan. Dengan jalan ini, Presiden Kim telah bertindak sebagai perancang kebijakan, pelayan sekaligus guru masyarakat Korea Selatan untuk menempuh jalan pemulihan krisis.

Kualifikasi pemimpin pembelajaran juga diberikan kepada Perdana Menteri Malaysia Mahatir Mohamad. Melalui kajian atas materi pidatonya sepanjang kurun waktu tujuh bulan, Prof Kim Dong-hwan dan VK Rai mendeteksi kecerdasan Mahatir dalam memahami krisis ekonomi Malaysia. Tidak seperti Presiden Kim, PM Mahatir berpendapat bahwa krisis Malaysia ditandai oleh struktur sistematik yang bersifat percepatan negatif (negative reinforcing). Menurut PM Mahatir, sesungguhnya seluruh bagian sistem ekonomi politik Malaysia tidak ada yang sakit. Krisis justru disebabkan oleh kegiatan spekulatif orang asing yang menggerogoti kekayaan bangsa Malaysia, melalui spekulasi mata uang. Itulah sebabnya PM Mahatir memilih jalan pemulihan melalui penetapan nilai tukar tetap dan melarang perdagangan ringgit. Ini adalah cara untuk memotong lingkaran krisis Malaysia yang bersifat lingkaran setan (vicious cycle).

Revolusi mental

Jelas sekali bahwa kendatipun sama-sama menghadapi krisis ekonomi dan moneter, kedua pemimpin meyakini karakteristik sistematik krisis yang berbeda. Karena itu, kebijakan pemulihannya pun sangat berbeda. Kemampuan pemimpin mendeteksi sifat krisis di masing-masing negara menjadi faktor sangat penting bagi keberhasilan pemulihan krisis. Hal ini sejalan dengan peringatan Peter Drucker bahwa "the greates danger in times of turbulence is not the turbulence.... It is to act with yesterday’s logic", yang berarti ’Yang paling berbahaya pada saat krisis bukanlah krisis itu sendiri, melainkan justru adalah tindakan kita yang dilandasi oleh pikiran-pikiran kita yang sudah ketinggalan zaman’.

Itulah sebabnya setiap negara dan bangsa memerlukan pemimpin pembelajaran. Yakni, pemimpin yang telah mengalami revolusi mental, atau shift of paradigm. Pemimpin yang bukan hanya pandai membawa dirinya menjadi pembelajaran sepanjang hayat, melainkan juga membangun seluruh organisasi bangsa menjadi organisasi pembelajaran (learning organization), dan sekaligus membimbing bangsanya menjadi bangsa pembelajaran (learning nation).

Konsistensi mewujudkan bangsa pembelajaran juga ditunjukkan Presiden Korea Selatan saat ini Roh Moo-hyun. Segera setelah dilantik, Presiden Roh memerintahkan seluruh menteri kabinet dan pejabat tinggi kepresidenan untuk mengikuti diklat dua hari penuh. Diklat eksekutif VVIP ini berlangsung di Central Officials Training Institute, Korea Selatan, tanggal 7-8 Maret 2003. Beberapa topik dibahas oleh peserta diklat, antara lain (1) "How to operate the Government", (2) "Good and Bad Policies of the Previous Government", (3) "Fair and Transparent Government", dan (4) "Decentralization for Balanced Regional Development". Dalam pidato pembukaannya, Presiden Roh mengajak seluruh peserta diklat, termasuk dirinya, untuk mengembangkan budaya debat (culture of debate) di antara pejabat tinggi pemerintahan.

Dialog bukan debat kusir

Kultur debat yang dimaksud oleh Presiden Roh tidak lain adalah dialog (dialogue). Hal ini berbeda dengan debat kusir (raw debate) sebab dialog adalah konversasi dan komunikasi yang mendalam dengan tingkat dan mutu yang tinggi. Dialog adalah metode komunikasi dan konversasi untuk memperoleh kecendekiaan kolektif (collective intelligence) dan kesepahaman (shared meaning) yang optimal. Dengan dialog, akan diperoleh keseimbangan antara mencari tahu (inquiry) dan memberi tahu (advocacy).

Antara keterampilan dialog dan debat kusir, masih ada diskusi sopan (polite discussion) dan diskusi trampil (skillfull discussion). Adapun, kemampuan dialog yang tinggi dicapai manakala seseorang telah mau dan mampu mendengarkan hal-hal yang ia sendiri sesungguhnya tidak ingin mendengarkan. Itulah sebabnya, dialog juga dikategorikan sebagai disiplin pembelajaran.

Pemahaman dan penguasaan disiplin dialog sangatlah relevan bila dikaitkan dengan banyaknya kasus kekerasan yang berlangsung sepanjang waktu di berbagai belahan Tanah Air. Bentrokan antarkader partai akhir-akhir ini juga indikasi lemahnya kemampuan dialog bangsa kita. Jangankan dialog ataupun diskusi terampil, debat kusir saja mungkin kita belum memiliki keterampilan yang memadai. Bila demikian halnya, maka jalan masih panjang untuk mewujudkan Indonesia sebagai bangsa pembelajaran.

Pilihan politik Presiden Roh untuk menumbuhkan culture of debate tampaknya dilandasi oleh keyakinan betapa pentingnya disiplin dialog sebagai basis pembelajaran bangsa Korea Selatan. Itu pun dilakukan bukan melalui perintah, tetapi melalui keteladanan praktik bersama: learning through inquiry and disclosure. Jelas sekali bahwa menjadikan bangsa pembelajaran dimulai dari Presidennya dahulu sebagai pemimpin pembelajaran.

Sudarsono Penulis Buku "Krisis di Mata Para Presiden"

0Comments:

<< Home