Rabu, 26 Desember 2007

"Government By Amateurs"

"Government By Amateurs"
Kompas Selasa, 31 Desember 2002
Oleh Sudarsono

SALAH satu kritik atas proses amandemen sampai dengan yang keempat adalah tidak dimintakannya pendapat rakyat (referendum) oleh MPR terlebih dahulu. Tentang hal ini ada dua pendapat yang bertolak belakang. Ada yang berpendapat bahwa dengan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, rakyat telah memberi kuasa penuh kepada MPR, dan kuasa ini tidak dapat ditarik lagi. Dengan begitu, MPR dapat berbuat apa saja asal dalam kerangka UUD 1945.

Yang berpandangan seperti ini dapat digolongkan sebagai pihak yang percaya, dan meredusir ajaran kedaulatan yang dianut dalam UUD 1945, semata-mata sebagai kedaulatan negara. Negara adalah milik MPR, bukan milik rakyat lagi.

Sebaliknya, yang berargumen pentingnya referendum sebelum amandemen, bertumpu pada keyakinan bahwa UUD 1945 masih menganut ajaran kedaulatan terpadu. Banyak pakar tata negara berpendapat bahwa UUD 1945 menganut ajaran kedaulatan rakyat, kedaulatan negara, kedaulatan Tuhan, dan kedaulatan hukum secara terpadu. Negara adalah milik rakyat, bukan milik MPR.

Pandangan seperti ini juga diperkukuh oleh adanya TAP MPR No IV/MPR/1983 tentang Referendum dan UU No 5/1985 tentang Referendum.

Memang, dengan dicabutnya TAP MPR No IV/MPR/1983 oleh TAP MPR No VII/MPR/1998 adalah pertanda kemenangan pihak penganut ajaran kedaulatan negara. Kemenangan ini, untuk sementara, digenapi dengan proses amandemen sampai keempat, yang dilakukan tanpa bertanya terlebih dahulu kepada rakyat.

Cita UUD ("Grondwetsidee")

Para pengkritik amandemen menganggap bahwa yang percaya akan kedaulatan sempit (kedaulatan negara saja) ini tidak mampu membedakan antara konstitusi dengan UUD. Pertama, mungkin ini pengaruh atas literatur yang membahas constitution dan ketatanegaraan Amerika.

Ajaran kedaulatan Amerika sangat didominasi oleh faham individualisme John Locke. Hal yang sangat berbeda dengan cita negara (staatsbildung) bangsa Indonesia, sebagaimana dirumuskan oleh para Bapak Pendiri Republik. Dapat dimengerti bila para American boys ini gagal memahami cita negaranya sendiri.

Kedua, dan ini yang merisaukan, adalah bahwa para pemenang tersebut, oleh para pengkritiknya dianggap tidak memahami hakikat cita UUD (grondwetsidee). Menurut pakar tata negara Belanda, Van der Tang, yang terpenting dalam masalah konstitusi adalah cita UUD (grondwetsidee), yaitu keinginan untuk meletakkan dalam suatu UUD soal-soal pokok dari organisasi penguasa (overheid) serta mengenai hubungan penguasa dengan warga negara.

Para pengritik amandemen berpendapat bahwa grondwetsidee UUD 1945 telah cukup jelas tergambar, baik pada Pembukaan, Batang Tubuh, maupun Penjelasan. Hanya yang terpokok saja yang dimuat dalam UUD 1945.

Menurut Tambunan (2000), hal-hal pokok ini meliputi: (1) jiwa UUD, yaitu bahwa negara dan konstitusi dibangun berlandaskan Pembukaan; (2) sendi-sendi atau asas-asas kehidupan negara dan bangsa. Kesemua ini menjelma dalam sistematika UUD 1945, cita hukum, ajaran kedaulatan, sistem kekuasaan, pengorganisasian negara, sistem desentralisasi, cita budaya, sistem perekonomian bangsa, sistem pertahanan, dan sistem perlindungan hukum.

Tidak dipahaminya ajaran cita UUD ini menyebabkan banyak di antara kita yang menyamakan konstitusi dengan UUD. Padahal, UUD 1945, dipandang telah dengan jelas membedakan UUD dengan konstitusi.

Menurut Tambunan (2000), misalnya, Penjelasan UUD 1945 menegaskan, konstitusi diartikan sebagai aturan-aturan pokok mengenai penyelenggaraan negara, sebagai garis-garis besar daripada haluan negara. Konstitusi ini ditetapkan oleh UUD 1945, dan oleh MPR, selain itu juga lahir dalam praktik penyelenggaraan negara.

Kecelakaan sejarah

Tidak dibedakannya UUD dengan konstitusi, selain mungkin disebabkan oleh pengaruh pemikiran Amerika, dan tidak dipahaminya ajaran cita UUD, juga disebabkan oleh kecelakaan sejarah, yakni dengan lahirnya TAP MPRS No XX/MPRS/1966, TAP MPR No V/MPR/1973, dan TAP MPR No IX/MPR/1978. Ketiga TAP MPR ini menekankan bahwa UUD 1945 dan TAP MPR adalah sama-sama sebagai peraturan perundang-undangan.

Para pengkritik amandemen, seperti diwaliki oleh Tambunan (2000), mengingatkan bahwa UUD 1945 jelas menggolongkan UUD 1945 dan TAP MPR sebagai haluan negara. Keduanya adalah konstitusi. Supaya dapat bermakna operasional, keduanya harus dikonkretkan lebih lanjut dalam bentuk undang-undang dan peraturan pelaksanaan lainnya.

Sangat disayangkan bahwa MPR, menurut pengkritik ini, telah melupakan bahwa UUD 1945 dan TAP MPR pada hakikatnya berbeda dengan peraturan perundang-undangan.

Demikian pula TAP MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangan, TAP reformis ini pun dipandang gagal untuk membedakan pengertian konstitusi dengan UUD.

Kecelakaan sejarah ini berimplikasi sangat serius atas ketatanegaraan RI. Pertama, tidak dipahaminya hakikat grondwetsidee, dan pencampuradukan makna konstitusi dengan UUD menjadikan tidak diketahuinya mana yang merupakan materi UUD-yang dengan sendirinya harus masuk dalam UUD-dengan materi mana yang merupakan materi konstitusi. Akibatnya, amandemen yang tidak didahului oleh kajian yang serius, mendalam, dan hati-hati, berisiko membawa kita ke arah jalan amandemen tanpa ujung.

Kedua, adalah pudarnya pamor UUD. Banyak yang khawatir bahwa dengan amandemen yang serampangan, dan tanpa mandat dari rakyat, akan memudarkan pamor UUD 1945. Padahal, inilah wujud, dan satu-satunya kekayaan utama negara-bangsa Indonesia.

Ketiga, adalah kerisauan akan adanya benturan antara amandemen dengan hakikat suprakonstitusionalis (supraconstitutionaliteit). Yang terakhir ini menunjuk pada ketentuan mengenai hal-hal dalam UUD yang sama sekali tidak boleh diubah. UUD berbagai negara, Norwegia, Perancis, Portugal, Italia, dan lain-lain secara eksplisit merumuskan supraconstitutionalitet ini. Misalnya, Pasal 89 Ayat (4) dan Ayat (5) serta Pasal 7 Ayat (1) UUD Perancis tahun 1958, jelas sekali mengatur ajaran ini.

Sayang sekali, sampai dengan amandemen keempat, masih tidak ada ketegasan MPR berkenaan dengan supraconstitutionaliteit. Yang paling jelas barulah apa yang diintroduksi pada Pasal 37 Ayat (5): "Khusus tentang bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan."

Para pencinta kemurnian UUD 1945 tentu menyambut baik supraconstitutionaliteit ini. Tapi, dengan amandemen Bab XVI tentang Perubahan Undang-Undang Dasar, khusus Pasal 37 Ayat (1) sampai dengan Ayat (4), dapat dimengerti bila masih banyak yang khawatir bahwa ke depan semua pasal UUD 1945 yang lain, bahkan Pembukaannya pun, masih berpotensi terancam diamandemen, tanpa melalui mandat dari rakyat terlebih dahulu.

Para pengkritik amandemen UUD 1945 berargumen bahwa sesuai Penjelasan UUD 1945, pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan menguasai hukum dasar tertulis maupun hukum yang tak tertulis. Hal ini berarti, Pembukaan tak boleh diubah. Bahkan, seperti diindikasikan oleh Penjelasan UUD 1945, harus dijaga supaya sistem UUD 1945 jangan sampai ketinggalan zaman, dan tidak lekas usang, maka biarlah UUD 1945 tetap utuh sebagaimana adanya. Yang penting bagaimana menafsirkan "yang terpokok saja", dan mengoperasionalkannya ke dalam bentuk konstitusi maupun ke dalam bentuk undang-undang dan peraturan pelaksanaan.

Toleransi amandemen diberikan hanyalah bila MPR menemukan ketentuan dalam UUD 1945 yang kurang jelas. Ini pun harus dilakukan melalui pendalaman dan penelitian yang saksama, dan yang penting meminta pendapat rakyat terlebih dahulu. Dapatlah dipahami bila ada kritik tajam terhadap hasil amandemen, seperti dikemukakan oleh Tambunan (2002) dalam bukunya bertajuk UUD 1945 Sudah Diganti Menjadi UUD 2002 Tanpa Mandat Khusus Rakyat.

"Government by Amateurs"

Kemelut tentang amandemen ini pada gilirannya menyentuh fenomena government by amateurs seperti diungkap oleh Sidney Low. Fenomena ini menunjuk pada kesenjangan antara perkembangan yang dahsyat di lapangan politik dan kemasyarakatan dengan kapasitas lembaga pembuat UUD. Manifestasi dari fenomena government by amateurs ini adalah diperkuatnya kekuasaan eksekutif (verserking van de executive), serta perundangan dari arah terbalik atau langkah surut pembentuk undang-undang (wetgeving in omgekeerde richting).

Inilah inti ajaran delegasi wewenang, dalam kerangka hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Singkatnya, supaya peranan negara dapat maksimal, dalam zaman modern ini, parlemen sengaja menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah.

Konsekuensinya, produk legislatif tidak lagi hanya dibuat oleh badan perundangan (parlemen) saja, tetapi justru banyak yang diserahkan kepada badan administrasi atau pemerintah. Pilihan seperti ini dapat dimengerti, bahkan sebagai keharusan, mengingat pada jajaran pemerintahlah berkumpul para ahli yang bergerak sesuai dengan lapangan pelayanannya; sementara perkembangan dahsyat di masyarakat sudah tidak mungkin diikuti semuanya oleh parlemen. Itulah sebabnya, mengapa timbul fenomena minister s power di Inggris, dan penegasan eksistensi administrative law di banyak negara.

Para pembuat undang-undang (UU) Indonesia pun tidak dapat menghindar dari fenomena government by amateurs ini. Saat ini, semua negara-bangsa menghadapi pergeseran kompleksitas kemasyarakatan, dari detail complexity ke arah dynamic complexity, seperti diingatkan oleh Peter Senge dalam bukunya, Fifth Discipline (1992).

Yang penting adalah, bagaimana kita secara cerdas menata persoalan kenegaraan secara maksimal demi perwujudan cita-cita kemerdekaan. Untuk dimensi yang statis ditata melalui hukum tata negara, dan untuk dimensi yang dinamis ditata melalui hukum administrasi negara.

Sayang sekali, di tengah kecenderungan adanya delegasi wewenang yang semakin nyata di banyak negara, termasuk yang dulu sentralismenya kuat-melalui privatisasi, koorporatisasi, kemitraan, dan reinventing government-pembuat UU Republik Indonesia justru menarik kembali delegasi kewenangan ini.

Dipangkasnya Keputusan Menteri dari hierarki Sumber Hukum dan Tata Usaha Perundangan melalui TAP MPR No III/MPR/1998 serta ditariknya kewenangan penandatanganan UU oleh DPR seperti diatur pada Pasal 20 Ayat (5), dalam konteks ini dapat dikatakan bersifat ahistoris. Apakah ini dilatarbelakangi oleh ajaran tata negara tertentu atau akibat adanya government by amateurs yang betul-betul amatiran, tidaklah jelas benar.

Fenomena yang terakhir ini bukannya tak ada. Masih segar dalam ingatan kita betapa kerasnya tuntutan untuk pilihan Presiden secara langsung oleh sementara pembuat undang- undang. Hasilnya adalah amandemen Bab III UUD 1945 perihal Kekuasaan Pemerintahan Negara. Tapi anehnya, begitu hal serupa dituntut untuk pilihan langsung (proporsional terbuka) bagi anggota DPR, ternyata banyak yang menolak.

Yang menolak pilihan langsung Presiden, sekaligus menolak proporsional terbuka untuk pilihan anggota DPR, adalah konsisten. Namun, yang mendesak pilihan Presiden langsung, tapi menolak proporsional terbuka, adalah amatiran betulan. Bila golongan yang terakhir ini banyak, ini baru namanya tragedi.