Kamis, 31 Januari 2008

Pola Bisnis Baru: Agama Palsu Tanpa Tuhan

Pola Bisnis Baru: Agama Palsu Tanpa Tuhan

Oleh Juminten

Dari berbagai tulisan, promosi, tawaran dan argumen tentang berbagai bentuk "bisnis" ada kecenderungan sudah menganggap bisnis mereka seperti layaknya agama. Agama palsu tanpa Tuhan.. Dengan berbekal "kitab suci" (buku, video, prospektus, marketing plan, dlsbnya) mereka akan membela sekuat tenaga para pencetus ide bisnis itu layaknya membela seorang "nabi". Membela mati-matian bahwa bisnis mereka paling benar seperti membela agama. Tanpa Tuhan karena pola penyebarluasnya dengan berbagai cara yang seringkali penuh rayuan dan tipu muslihat, Tanpa kerja akan mendapatkan uang, akan diciptakan milyuner-milyuner baru dalam sekejap, bahkan mungkin mereka menganggap mampu menciptakan surga....
Mereka lupa bahwa semua yang dibela itu nantinya akan menghadap Tuhan yg sebenernya

to be continued

selanjutnya....!

Minggu, 27 Januari 2008

"Call Center" Palsu di ATM

"Call Center" Palsu di ATM


Saya berniat menarik uang lewat ATM ###### RS Islam Pondok Kopi, Jakarta Timur, tanggal 26 April, dengan memilih penarikan jumlah Rp 300.000. Setelah beberapa saat di monitor ATM tertulis "Maaf, transaksi tidak dapat diproses". Seharusnya kartu ATM keluar, namun kartu tidak keluar dan uang yang akan saya tarik juga tidak keluar. Saya kemudian telepon call center yang tercantum di ATM tersebut (92899242).
Dari nomor telepon itu menjawab: "Bank ###### selamat siang...." Saya sama sekali tidak curiga saat menanyakan nama, nomor rekening, nomor kartu, dan nomor PIN. Setelah pulang ke rumah di telepon seluler saya terdapat lima pesan masuk yang isinya rekening ###### telah didebit 5 x Rp 1.000.000. Total Rp 5.000.000. Setelah membaca pesan dari SMS Banking ###### saya langsung telepon Bank Mandiri (14000) setelah mencari-cari brosur Bank ######. Petugas memberitahu bahwa nomer telepon yang ada di ATM ###### palsu.

Uang saya telah dikuras berdasarkan jumlah maksimal pengambilan lewat ATM per hari. Saya panik dan langsung mendatangi kantor Bank ####### tempat saya membuka rekening (KCP Perum Klender, Jaktim). Saya diberitahu oleh salah satu customer service bahwa nomer telepon yang tertempel di ATM ###### RSI Pondok Kopi, Jaktim, itu palsu, dan juga dijelaskan bahwa sebenarnya kartu tidak tertelan namun hanya diganjal oleh penipunya sehingga seolah-olah kartu tertelan. Dan, saya diharapkan untuk menghubungi nomer telepon call center yang terdapat di dekat mesin ATM tersebut.

Ketika ditanyakan, apakah bisa dilacak lewat kamera CCTV di ATM tersebut atau dilacak lewat transaksi? Petugas customer service itu mengatakan, tidak semua ATM ###### dilengkapi kamera CCTV. Dan, dalam hal ini transaksi diambil tunai bukan lewat transfer sehingga mustahil untuk dilacak. Juga diakui bahwa kejadian seperti itu sudah sering terjadi di ATM ######, seperti mesin ATM yang diganjal dan penempelan nomor call center palsu.

Namun, mengapa pihak Bank ###### tidak melakukan tindakan pengamanan ekstra seperti mengontrol mesin-mesin ATM, meletakan kamera CCTV di dalam ruang ATM, dan menempatkan petugas satpam di ATM?

Tamara

Jalan Malaka Merah, Duren Sawit, Jakarta Timur

Sumber: Kompas, 26 Juni 2007

selanjutnya....!

Jumat, 18 Januari 2008

Linux ternyata mudah

Linux ternyata mudah

Oleh Juminten

Linux ternyata mudah
Puppy 3.00 luar biasa....gunakan software LEGAL, mari berhenti menjadi maling

selanjutnya....!

Rabu, 16 Januari 2008

Nabi, Laut, Api, dan Jeruji Besi

Nabi, Laut, Api, dan Jeruji Besi
Emha Ainun Nadjib

Tiap hari berulangkali setiap muslim berdoa kepada Tuhan-nya, memohon perlindungan agar tidak sesat.
Kata akhir surat Al-Fatihah adalah wala ad-dhoolliin: "Anugerahilah kami jalan mustaqim (jalannya orang yang menegakkan kebenaran), bukan jalan orang-orang yang Kau murkai, juga bukan jalan orang-orang yang sesat...."

Kalimat itu disiapkan Tuhan seakan-akan untuk menegaskan bahwa kehidupan manusia sepanjang masa selalu berada pada dinamika relativitas antara tersesat dan tidak tersesat. Kalau begitu engkau baca syahadat dan menjalankan syariat mahdloh (syahadat, salat, puasa, zakat, haji) engkau terjamin tak sesat -tentulah tak perlu Allah mem-fait a compli dengan kalimat doa akhir Al-Fatihah itu.

Antara benar dengan sesat itu seakan sangat mungkin berlangsung bergantian dalam kehidupan manusia. Tak hanya seperti pergiliran siang dan malam, panas dan dingin, penghujan dan kemarau, gelap dan terang: mungkin lebih cepat dari itu.

Pada suatu siang selepas Jumatan belum kering air wudu di wajah kita, bisa saja di beranda masjid kita menemui klien dan bertanya: "Beraninya berapa persen? Kalau di bawah 30% bisa sulit kita mendapatkan tanda tangan beliau."
Kemudian lewatlah yang disebut "beliau" itu, dengan sajadah di pundaknya, sesudah beliau pakai untuk berkotbah dan menjadi imam salat Jumat.

Kesesatan itu milik kita sehari-hari. Kesesatan adalah perangai umum dan sudah saling tahu satu sama lain. Hanya saja, di antara sesama orang sesat dilarang saling mengganggu.

Ada kesesatan kesehatan, dan itu menghasilkan berbagai sakit massal dan penambahan jenis penyakit. Ada kesesatan moral yang mendarah daging, bahkan sudah hampir menjadi jiwa dan karakter kita bersama. Korupsi, misalnya, yang kita tidak rela kalau hanya sesama manusia yang melakukan korupsi --sistem dan aturan pun harus kita bikin terlibat dan "menanggung" dosa korupsi.

Indonesia, negara besar, tanah suburnya kaya raya. Rakyatnya tangguh, penuh bakat, dan penyabar, semakin terperosok ke jurang kehancuran sesudah sekian kali ganti pemerintahan. Demi Allah, itu adalah kesesatan agung yang sangat nyata.

Ada juga misalnya, kesesatan ilmu dan wacana, merajalela di setiap kepala manusia. Tetapi sampai kiamat tak akan ada satu pihak pun yang rela beriktikad mencari titik temu. Tak ada mediasi atau tawassuth, atau tawazzun, penyeimbangan sosial di antara berbagai-bagai produk kemerdekaan berpikir.

Masing-masing orang atau golongan yakin sedang menegakkan dan mempertahankan kebenaran. Dan yang dimaksud kebenaran itu adalah apa yang berlaku di kepalanya sendiri. Di dalam tradisi peradaban ilmu, sangat sukar menemukan orang mencari kebenaran. Umumnya mereka sudah sampai di titik final dengan kebenaran dan keyakinan subjektifnya atas kebenaran diri itu.

Sesungguhnya tradisi itu tak menerbitkan tingkat masalah serius, andaikan tidak ada "penyambung lidah ilmu" di bidang-bidang formal: negara, pemerintahan, policy. Kemudian otoritas, otoritarianisme, bedil, penangkapan, dan pemberangusan. Finalnya ilmu itu bunyinya "pokoknya".

Yang pendekar-pendekar yang bersenjatakan "pokoknya" itu sekarang bukan hanya penguasa, juga sudah menjadi kepintaran rakyat banyak. Akhirnya, yang terjadi adalah siapa menembakkan peluru fatwa dan siapa yang terkena olehnya. Alhasil, sebenarnya Al-Qiyadah dulu semestinya melangkahkan kaki ke kekuasaan negara dulu, baru terapkan teologinya.

*****

Sesudah MUI berfatwa bahwa Al-Qiyadah adalah aliran sesat, dengan penuh penasaran saya menanti-nanti Al-Qiyadah juga segera mengumumkan bahwa MUI dan semua umat Islam yang bukan Al-Qiyadah adalah juga aliran sesat. Bahkan gelombang sesat, gelombang besar sedunia, bukan sekadar satu aliran kecil di beberapa lokal.

Karena sebelum muncul wacana bahwa Al-Qiyadah adalah aliran sesat, sebenarnya pasti sudah ada terlebih dahulu wacana bahwa semua umat Islam di Indonesia, dan bahkan di seluruh dunia, adalah juga sesat. Pasti demikian menurut Al-Qiyadah.

Pastilah pada alam tafsir Syekh Mushaddeq beserta para pengikutnya terdapat keyakinan bahwa semua yang bukan Al-Qiyadah adalah sesat. Itulah sebabnya mereka menghimpun diri dalam kebenaran yang tidak sesat, menurut versi mereka. Mereka tidak mau terus tersesat, maka mereka menjadi Ummatul Qiyadah.

Hanya saja Al-Qiyadah itu "swasta". Sementara MUI itu "negara". Aslinya "negara" adalah rumah institusi rakyat, milik rakyat. Tetapi pemerintah sendiri tidak pernah mampu membedakan bahwa pemerintah bukanlah "negara". MUI memperoleh legalitas dan legitimasi konstitusional "kenegaraan" untuk berfatwa.

Dan fatwa MUI itu tidak sekadar berkekuatan moral sebagaimana Al-Mufti di Mesir, juga berkekuatan hukum dan diperkuat oleh otoritas politik. NKRI adalah sebuah konvensi tentang segala perikehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Segala interpretasi, versi, penafsiran, dan aplikasi yang menyangkut sisi apa pun berada di genggaman tangan penguasa, meskipun sudah lama memakai kostum demokrasi, pemilihan umum, dan perwakilan rakyat.

Indonesia adalah Pemerintah Indonesia: "negara" tidak berposisi jelas dalam pemetaan pikiran konstitusi dan logika kenegaraan kita. Kalau "negara" tidak jelas, terlebih lagi "rakyat". Sesungguhnya yang selama ini dimaksud "negara" adalah pemerintah. Indonesia adalah suatu wilayah di muka bumi yang "belum tentu negara", yang pemerintahnya lemah, dan rakyatnya "abstain", alias de jure de facto tidak benar-benar ada.

Kalau rakyat mau sedikit ada, bergabunglah sejenak menjadi "penggembira" pelaku pemerintah, misalnya lima tahun sekali dalam pemilu nasional atau pilkada. Rakyat jangan "mengada" di luar arus kepentingan dan wacana mainstream pemerintah. Kecuali engkau kuat atau licin atau invisible. Kalau tidak, engkau harus ditiadakan.

Demikian pula Al-Qiyadah. Sebenarnya, kalau MUI dan pemerintah tidak malas, banyak sekali "Al-Qiyadah-Al-Qiyadah" lain yang bertebaran di mana-mana. Artinya "negara" alias pemerintah bisa melakukan penangkapan massal, pemusnahan, dan peniadaan.

Ada "Al-Qiyadah" yang lugu sebagaimana Al-Qiyadah. Ada yang pintar: tidak bermain di wilayah teologi. Tetapi, ia mengapitalisasikan kekosongan kepala manusia Indonesia dengan formula-formula modern dan bahasa canggih. Serta menghindarkan kata-kata Arab yang menyangkut akidah.

Ayat dan hadits terbatas dipakai sebagai sobekan-sobekan kostum di wilayah spiritual, psikologi, dan psikisme, krisis logika, dan hati kosong. Juga sirnanya parameter-parameter nilai, perasaan cemas tak berkesudahan, rasa bersalah oleh korupsi. Serta hampir menyeluruhnya bangsa ini kehilangan pegangan hidup.

Asalkan engkau tidak bermain di wilayah teologi, maka bukan hanya lancar kapitalismemu. Malahan bisa merdeka menggunakan semua perangkat industri dan modal. Bahkan dipuji orang. Kalau lebih halus dan canggih lagi, malah bisa memperoleh Award Nasional atau kalau perlu Hadiah Nobel.

Di Nusantara ini manusia tidak benar-benar mampu membedakan Tuhan dengan setan, malaikat dengan Dajjal, kebaikan dengan jebakan, kebenaran dengan tipu daya. Agama dengan seakan-akan agama, ilmu dengan klenik, Kiai atau penipu, ustad atau saudagar, perjuangan dengan kebencian, fakta lapangan dengan nafsu kepahlawanan. Bahkan tidak maksimal kesanggupannya memilih sehat-tidaknya makanan, lagu, sinetron, kalimat, dan kata.... Asal ada kata "Allah" disangka agama.

*****

Andaikan munculnya Al-Qiyadah ini kita daya gunakan sebagai momentum pembelajaran. Misalnya, MUI menyiapkan forum untuk berdialog dan berdebat dengan Al-Qiyadah. Mungkin tertutup tak apa, kalau kita masih hobi sama mitos "meresahkan masyarakat". Tapi kalau akidah dan ilmu kita jelas, sebaiknya rakyat atau ummat juga kita ajak memperjelas akidah dan ilmunya: maka kenapa tak terbuka saja untuk umum perdebatan itu.

Saya yakin, itu bisa disiarkan secara nasional. Bisa menjadi sekian tayangan televisi yang laris, bukan tidak menarik untuk disponsori oleh ini itu --agar bukan Mbah Maridjan saja yang rosa, umat juga rosa akidah dan ilmunya.

Lebih dahsyat dan indah lagi, kalau sejak awal pimpinan Al-Qiyadah yang datang ke MUI mengusulkan ada forum. Dia pasti paham setiap kata ada risiko sosial, bahkan akibat politiknya. Mending terlebih dulu dibawa berdebat saja ke kantor MUI. Apa keberatan beliau untuk melakukan itu, karena toh beliau yakin bahwa beliau nabi. Mosok nabi kalah sama MUI.

Sesungguhnya, menjadi muslim, atau menjadi manusia, itu tinggal pilih satu di antara tiga jalan. Pertama, ijtihad, subjeknya bernama mujtahid: berinisiatif sendiri untuk memahami sesuatu, memikirkan, merenenungkan, menganalisis, dan mengambil keputusan. Kedua, ittiba', pelakunya bernama muttabi': mengikuti saja apa kata ulama, pemimpin, atau panutan, namun tetap dengan berusaha memahami apa yang ia ikuti.

Atau ketiga, taqlid, orangnya disebut muqallid: pokoknya ikut saja, mau kapan Idul Fitri-nya monggo saja, tak penting mengerti atau tidak, toh nanti yang urusan sama Tuhan kan yang dianut, bukan yang menganut.

Tapi salah seorang ulama MUI menyatakan: "Tidak perlu berdebat dengan orang sesat." Dan yang terjadi adalah semua pihak mendengar penggalan-penggalan dan serpihan-serpihan belaka. Jangankan barang baru yang bernama Al-Qiyadah, lha wong barang lama yang namanya Islam saja juga kita ngerti-nya sepenggal-sepenggal. Sehingga sangat mudah diperdaya, bahasa Jawa-nya: methel, seperti gethuk, ditiup saja bisa ambyar.

Begitulah ilmu kita, pengetahuan kita, wacana kita. Mungkin juga begitulah iman dan taqwa kita. Tapi sudahlah. Harus saya penggal di sini. Apakah engkau cemas atas Indonesia? Silakan.

Tapi, jangan cemas tentang Al-Qiyadah. Beliau yakin dirinya adalah nabi: siapa yang mampu menghalangi langkahnya? Nabi Ibrahim tak terbakar oleh api. Nabi Musa dibekali tongkat oleh Tuhan untuk membelah samudra. Kalau sekadar jeruji besi, apalah artinya bagi mukjizat seorang Nabi.


Emha Ainun Nadjib
Budayawan
[Kolom, Gatra Nomor 52 Beredar Kamis, 8 November 2007]

selanjutnya....!

Minggu, 13 Januari 2008

Emha Ainun Nadjib: Gusti Allah Tidak "Ndeso"


Emha Ainun Nadjib: Gusti Allah Tidak "Ndeso"
Beragama yang Tidak Korupsi
Oleh: Faisal

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun. "Cak Nun," kata sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?"

Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan."
"Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya.
"Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun.
"Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, " katanya lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.


Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.

Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"

Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama. Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.
Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.

Ekstrinsik VS Intrinsik

Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya. Nabi Muhammad SAW menjawab singkat, "Ia di neraka." Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial.Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.

Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain. Hal ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W Allport. Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan intrinsik.

Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya. Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam dirinya.

Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam jauh ke dalam jiwa penganutnya. Adanya internalisasi nilai spiritual keagamaan. Ibadah ritual bukan hanya praktik tanpa makna. Semua ibadah itu memiliki pengaruh dalam sikapnya sehari-hari. Baginya, agama adalah penghayatan batin kepada Tuhan. Cara beragama yang intrinsiklah yang mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan penuh kasih sayang.

Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak tulus, melahirkan egoisme. Egoisme bertanggungjawab atas kegagalan manusia mencari kebahagiaan, kata Leo Tolstoy. Kebahagiaan tidak terletak pada kesenangan diri sendiri. Kebahagiaan terletak pada kebersamaan. Sebaliknya, cara beragama yang intrinsik menciptakan kebersamaan. Karena itu, menciptakan kebahagiaan dalam diri penganutnya dan lingkungan sosialnya. Ada penghayatan terhadap pelaksanaan ritual-ritual agama.

Cara beragama yang ekstrinsik menjadikan agama sebagai alat politis dan ekonomis. Sebuah sikap beragama yang memunculkan sikap hipokrit; kemunafikan. Syaikh Al Ghazali dan Sayid Quthb pernah berkata, kita ribut tentang bid'ah dalam shalat dan haji, tetapi dengan tenang melakukan bid'ah dalam urusan ekonomi dan politik. Kita puasa tetapi dengan tenang melakukan korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan penindasan.

Indonesia, sebuah negeri yang katanya agamis, merupakan negara penuh pertikaian. Majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001 mencatat, Indonesia dengan 17.000 pulau ini menyimpan 1.000 titik api yang sewaktu-waktu siap menyala. Bila tidak dikelola, dengan mudah beralih menjadi bentuk kekerasan yang memakan korban. Peringatan Newsweek lima tahun lalu itu, rupanya mulai memperlihatkan kebenaran. Poso, Maluku, Papua Barat, Aceh menjadi contohnya. Ironis.

Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis betapa banyak umat Islam disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah (ritual), tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka. Betapa banyak orang kaya Islam yang dengan khusuk meratakan dahinya di atas sajadah, sementara di dekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit dan kekurangan gizi.

Kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak di sudut-sudut negeri ini tidak dapat melanjutkan sekolah. Jutaan uang dihamburkan untuk membangun rumah ibadah yang megah, di saat ribuan orang tua masih harus menanggung beban mencari sesuap nasi. Jutaan uang dipakai untuk naik haji berulang kali, di saat ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Secara ekstrinsik mereka beragama, tetapi secara intrinsik tidak beragama. (ed.AYS)Sumber: The Jalal Center


selanjutnya....!

Rabu, 09 Januari 2008

Presiden sebagai Pemimpin Pembelajaran

Presiden sebagai Pemimpin Pembelajaran
Kompas Sabtu, 08 November 2003

Oleh Sudarsono

DALAM kampanye kepresidenan Korea Selatan, capres Kim Dae- jung mengatakan, "Beri saya kesempatan jadi Presiden Korea Selatan, dan krisis ekonomi akan saya pulihkan dalam waktu dua tahun." Presiden Kim memang menepati janji politiknya. Bahkan, seluruh indikator ekonomi makro Korea Selatan dapat disehatkan dalam 18 bulan sejak pelantikannya menjadi presiden.

Fenomena Presiden Kim ini menarik minat peneliti perilaku kepemimpinan dari Chung Ahn University, Prof Kim Dong-hwan. Melalui kajian atas hampir 1.000 halaman pidato kepresidenan disimpulkan bahwa Presiden Kim adalah salah seorang model pemimpin pembelajaran (a learning leader). Ciri pemimpin pembelajaran antara lain: berpikir serba sistematis, memahami kompleksitas dinamis masyarakat, dan suka dialog.

Gambaran pemimpin pembelajaran ini ditunjukkan oleh kecerdasan Presiden Kim dalam memahami krisis ekonomi Korea Selatan. Presiden Kim berpendapat bahwa krisis ekonomi Korea Selatan ditandai struktur sistematik yang bersifat penstabilan (balancing). Krisis ekonomi Korea Selatan adalah mirip sistem tubuh manusia. Tidak sehatnya satu atau beberapa bagian dari sistem, ditandai oleh tidak sehatnya satu atau beberapa indikator kesehatan sistem. Satu-satunya cara untuk menyehatkan sistem adalah dengan cara menyehatkan seluruh komponen sistem, terutama yang memiliki daya ungkit tertinggi (highest leverage).

Itulah sebabnya Presiden Kim memilih kebijakan reformasi institusi politik dan institusi finansial guna memulihkan krisis ekonomi Korea Selatan. Dengan jalan ini, Presiden Kim telah bertindak sebagai perancang kebijakan, pelayan sekaligus guru masyarakat Korea Selatan untuk menempuh jalan pemulihan krisis.

Kualifikasi pemimpin pembelajaran juga diberikan kepada Perdana Menteri Malaysia Mahatir Mohamad. Melalui kajian atas materi pidatonya sepanjang kurun waktu tujuh bulan, Prof Kim Dong-hwan dan VK Rai mendeteksi kecerdasan Mahatir dalam memahami krisis ekonomi Malaysia. Tidak seperti Presiden Kim, PM Mahatir berpendapat bahwa krisis Malaysia ditandai oleh struktur sistematik yang bersifat percepatan negatif (negative reinforcing). Menurut PM Mahatir, sesungguhnya seluruh bagian sistem ekonomi politik Malaysia tidak ada yang sakit. Krisis justru disebabkan oleh kegiatan spekulatif orang asing yang menggerogoti kekayaan bangsa Malaysia, melalui spekulasi mata uang. Itulah sebabnya PM Mahatir memilih jalan pemulihan melalui penetapan nilai tukar tetap dan melarang perdagangan ringgit. Ini adalah cara untuk memotong lingkaran krisis Malaysia yang bersifat lingkaran setan (vicious cycle).

Revolusi mental

Jelas sekali bahwa kendatipun sama-sama menghadapi krisis ekonomi dan moneter, kedua pemimpin meyakini karakteristik sistematik krisis yang berbeda. Karena itu, kebijakan pemulihannya pun sangat berbeda. Kemampuan pemimpin mendeteksi sifat krisis di masing-masing negara menjadi faktor sangat penting bagi keberhasilan pemulihan krisis. Hal ini sejalan dengan peringatan Peter Drucker bahwa "the greates danger in times of turbulence is not the turbulence.... It is to act with yesterday’s logic", yang berarti ’Yang paling berbahaya pada saat krisis bukanlah krisis itu sendiri, melainkan justru adalah tindakan kita yang dilandasi oleh pikiran-pikiran kita yang sudah ketinggalan zaman’.

Itulah sebabnya setiap negara dan bangsa memerlukan pemimpin pembelajaran. Yakni, pemimpin yang telah mengalami revolusi mental, atau shift of paradigm. Pemimpin yang bukan hanya pandai membawa dirinya menjadi pembelajaran sepanjang hayat, melainkan juga membangun seluruh organisasi bangsa menjadi organisasi pembelajaran (learning organization), dan sekaligus membimbing bangsanya menjadi bangsa pembelajaran (learning nation).

Konsistensi mewujudkan bangsa pembelajaran juga ditunjukkan Presiden Korea Selatan saat ini Roh Moo-hyun. Segera setelah dilantik, Presiden Roh memerintahkan seluruh menteri kabinet dan pejabat tinggi kepresidenan untuk mengikuti diklat dua hari penuh. Diklat eksekutif VVIP ini berlangsung di Central Officials Training Institute, Korea Selatan, tanggal 7-8 Maret 2003. Beberapa topik dibahas oleh peserta diklat, antara lain (1) "How to operate the Government", (2) "Good and Bad Policies of the Previous Government", (3) "Fair and Transparent Government", dan (4) "Decentralization for Balanced Regional Development". Dalam pidato pembukaannya, Presiden Roh mengajak seluruh peserta diklat, termasuk dirinya, untuk mengembangkan budaya debat (culture of debate) di antara pejabat tinggi pemerintahan.

Dialog bukan debat kusir

Kultur debat yang dimaksud oleh Presiden Roh tidak lain adalah dialog (dialogue). Hal ini berbeda dengan debat kusir (raw debate) sebab dialog adalah konversasi dan komunikasi yang mendalam dengan tingkat dan mutu yang tinggi. Dialog adalah metode komunikasi dan konversasi untuk memperoleh kecendekiaan kolektif (collective intelligence) dan kesepahaman (shared meaning) yang optimal. Dengan dialog, akan diperoleh keseimbangan antara mencari tahu (inquiry) dan memberi tahu (advocacy).

Antara keterampilan dialog dan debat kusir, masih ada diskusi sopan (polite discussion) dan diskusi trampil (skillfull discussion). Adapun, kemampuan dialog yang tinggi dicapai manakala seseorang telah mau dan mampu mendengarkan hal-hal yang ia sendiri sesungguhnya tidak ingin mendengarkan. Itulah sebabnya, dialog juga dikategorikan sebagai disiplin pembelajaran.

Pemahaman dan penguasaan disiplin dialog sangatlah relevan bila dikaitkan dengan banyaknya kasus kekerasan yang berlangsung sepanjang waktu di berbagai belahan Tanah Air. Bentrokan antarkader partai akhir-akhir ini juga indikasi lemahnya kemampuan dialog bangsa kita. Jangankan dialog ataupun diskusi terampil, debat kusir saja mungkin kita belum memiliki keterampilan yang memadai. Bila demikian halnya, maka jalan masih panjang untuk mewujudkan Indonesia sebagai bangsa pembelajaran.

Pilihan politik Presiden Roh untuk menumbuhkan culture of debate tampaknya dilandasi oleh keyakinan betapa pentingnya disiplin dialog sebagai basis pembelajaran bangsa Korea Selatan. Itu pun dilakukan bukan melalui perintah, tetapi melalui keteladanan praktik bersama: learning through inquiry and disclosure. Jelas sekali bahwa menjadikan bangsa pembelajaran dimulai dari Presidennya dahulu sebagai pemimpin pembelajaran.

Sudarsono Penulis Buku "Krisis di Mata Para Presiden"

selanjutnya....!